“TANGISAN YANG TAK KUNJUNG HENTI”


Menafkahi keluarga untuk bertahan hidup merupakan hakikat dalam diri setiap orang untuk berjuang. Bukan lagi hal unik jika keringat dan darah menetes dari badan seseorang bahkan mengalir akibat perjuangan menghidupi sebuah keluarga. Perjuangan ini bukan hanya dilakukan oleh para kepala keluarga, ataupun para ibu rumah tangga, banyak anak yang turut berjuang, menunjukkan dan menandakan bahwa mereka tahu berbalas budi kepada orang tua. Biasanya, hal ini identik dengan anak laki-laki. Namun, tidak jarang kaum hawa kecil juga turut berjuang dengan cara mereka sendiri demi keluarga yang mereka cintai.
Berdasarkan berita pada Surat Kabar Pos Kupang pada 04 Januari 2017, Nusa Tenggara Timur (NTT) ditetapkan sebagai peringkat tiga propinsi termiskin oleh Badan Pusat Satatistik (BPS). NTT hanya lebih baik dari Papua dan Papua Barat. Pada bulan September 2016 penduduk miskin di NTT sebanyak 1.150.080 dari 5,2 juta. Garis kemiskinan di ukur dari pendapatan per kapita. Namun, peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibanding dengan komoditi bukan makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. padahal makanan dan bahan lokal masyarakat NTT tersedia dengan cukup tetapi ada apa yang salah? Instrumen yang digunakan pemerintah untuk mengukur standar kemiskinan adalah kemampuan membeli kebutuhan pokok seperti beras dll. Hal ini berkontradiksi dengan kehidupan tradisional masyarakat NTT yang masih bergantung sepenuhnya pada hasil alam. Selain itu, salah satu instrument yang digunakan pemerintah adalah apabila penghasilan penduduk minimal Rp.1.500.000/bulan tidak masuk dalam kategori miskin. Stigma NTT miskin juga merupakan alasan banyak masyarakat NTT memilih menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Tenaga Kerja Wanita (TKW) padahal di desa memiliki lapangan pekerjaan yang cukup, baik itu di sektor pertanian, peternakan dan perdagangan. Ataukah karena pengaruh instrument pengukur standar kemiskinan membuat sebuah pemahaman kepada masyarakat bahwa bertani tidak akan membawa kita keluar dari kemiskinan? Hasil bumi di NTT sangat melimpah terutama komoditi makanan. Namun, pemasaran yang tidak terkelola dengan baik akibat akses transportasi dan tujuan pemasaran yang tidak jelas juga merupakan alasan masyarakat NTT memilih menjadi TKI dan TKW.
Itulah salah satu cara mereka berjuang untuk kehidupan sebuah keluarga. Malaysia menjadi salah satu negara yang paling banyak dijadikan lahan mata pencaharian para TKI dan TKW yang berasal dari Indonesia khususnya NTT.
Bukan rahasia lagi, bahwa banyak kelompok/pihak elite yang memanfaatkan situasi ini untuk meraup keuntungan dengan cara yang tidak wajar alias kurang ajar. Minimnya pengetahuan dan informasi yang diterima oleh warga dimanfaatkan oleh mereka (pihak elite tadi) untuk memuaskan hasrat mereka yang membabi buta (gila uang). Masyarakat diberi penawaran bekerja di luar negeri dengan proses yang sangat mudah dan prospek yang sangat menggiurkan. Ini adalah strategi paling baik bagi mereka dalam membohongi masyarakat kecil, cara paling  mudah dalam membodohi orang kecil untuk melakukan hal yang ilegal. Demikianlah kebiasaan mereka, selalu melanggar aturan. Kebiasaan yang jelas-jelas tidak wajar,  oleh mereka yang jelas-jelas tidak waras.
Akibatnya, TKI dan TKW yang dikirim ke luar negeri merupakan Tena Kerja yang Ilegal atau yang terkenal dengan sebutan Human Traficking. Istilah yang paling mudah adalah "Penjualan Orang". Jika hal ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin bahwa ada pula "Obral Manusia" besar-besaran untuk diperbudak dan direnggut ajal/kematian.
Terlepas dari cara pengiriman TKI dan TKW ke luar negeri, coba Flashback (Melihat Kembali) pada peristiwa Nirmala Bonat pada bulan maret dan april 2004. Nirmala harus merasakan siraman air panas dan seterika listrik yang menulusuri seluruh tubuhnya. Peristiwa ini, mengguncang bumi Flobamora bahkan Indonesia. Menjadi sesuatu yang menakutkan bagi semua orang apalagi masyarakat di pelosok ketika mendengar TKI ataupun TKW apalagi negara Malaysia. Namun seiring berjalannya waktu, ketakutan tersebut mulai pudar akibat rekayasa tawaran madu dari pihak elite yang seakan sangat menjamin kesejahteraan (uang) dan keamanan seorang calon TKI dan TKW, jurus lama kembali dilakukan,  para TKI dan TKW dirayu dan dikirim tanpa ada penjelasan atau informasi tentang prosedur pengiriman. Jaminan "ke luar negeri" dan jaminan keuangan yang cukup besar sebelum berangkat menjadi perhatian utama korban sehingga keputusan finalnya adalah mencari nafkah di Negeri Jiran.
Karena itu, bukan hanya Nirmala Bonat. Kejadian identik terus terjadi sepanjang tahun ke tahun. Pada bulan Februari 2018, Indonesia kembali digemparkan oleh kematian TKW asal Timor Tengah Selatan, Adelina Sau. Setelah kejadian ini, Tempo.co menyebut NTT sebagai Nusa Peti Mati dengan data-data sejak tahun 2015-2018 tentang jumlah TKI dan TKW yang pulang dengan Peti Mati (NTT Terbanyak dengan angka-angka sebagai berikut: tahun 2015: 23 orang, tahun 2016: 43 orang, tahun 2017: 50 orang dan tahun 2018: 11 orang).
Data-data diatas menarik jika dianalisis menggunakan Forecasting Statistik (Peramalan Statistik), dengan mengabaikan faktor program pemberantasan Human Traficking, secara logis akan menghasilkan trend yang linier. Artinya pada tahun 2018, peluang bertambahnya jumlah Peti Mati di NTT akan meningkat atau lebih dari 50 Peti Mati.
Terlepas dari hasil analisis yang tadi, data pada tiga tahun terakhir menunjukan tidak adanya upaya ekstra dari pihak pemegang kekuasaan di negeri ini untuk mencari solusi terhadap permasalahan ini yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama yang saya tahu, Pemerintah terus berkoar di media seolah-olah telah bekerja ekstra soal hal ini, padahal media dimanfaatkan sebagai tameng untuk melindungi diri dari kritikan publik. Hal ini terungkap dari lubuk hati dan pemikiran logis sebagai anak kampung yang prihatin.
Tidak bermaksud menyudutkan pemerintah tidak ada upaya pemberantasan, tapi ini hanya merupakan sebuah ungkapan kekecewaan dari seorang anak desa yang sudah tak mampu lagi melihat kematian keluarganya. Ini adalah keluhan seorang anak kampung terhadap program pemberantasan yang tidak memiliki metode yang efisien dan target yang jelas. Besar kemungkinan tidak ada evaluasi kinerja tiap tahun tentang program pemberantasan ini. Jika pemerintah berpegang pada metode pemberantasan yang lama maka dijamin 100% hasil forecasting statistik sangat tepat.
Ketika bagian ini dibaca, mungkinkah ada pihak yang ngambek/marah? “Masalah ini tidak mudah diatasi”. Dengan mengutip kata-kata dari Norman Schwarzkopf untuk dijadikan sebagai jawaban sekaligus tantangan “Kepemimpinan adalah kombinasi ampuh strategi dan karakter.” Artinya pemerintah harus bisa mengatasi persoalan ini. Mengapa harus? Karena jika pemerintah tak sanggup mengatasinya, kemana lagi kami harus mengadu? Siapakah lagi yang akan melindungi jika bukan pemerintah?
Merupakan suatu kebahagiaan membaca berita setelah kontroversial kematian Adelina Sau dimana pemerintah akan menghentikan pengiriman TKI dan TKW tetapi apakah hal ini terealisasi? Jika ia, bagaimana solusi untuk mereka yang sudah terlanjur banting tulang dengan tekanan batin atau kekerasan psikis yang sedang menghampiri mereka di Negeri Jiran dan negeri lainnya? Dibiarkan? Ia, Kematian 2 orang tenaga kerja dari NTT salah satunya Milka Boimau dari Desa Kotabes, Amarasi, Kabupaten Kupang pada tanggal 11 Maret 2018 (Jenasah tiba di Kupang) menjadi alasan jawaban yang telah diutarakan.
Aneh dan sedih ketika pihak BP3TKI menjelaskan infeksi paru-paru sebagai penyebab kematian Milka pada Tempo.co (Pos Kupang 12 Maret 2018) tetapi timbul perasaan sedih, marah dan kecewa dari pihak keluarga setelah tubuh Milka diperiksa, hampir seluruh tubuhnya penuh dengan jahitan. Apakah ini karena autopsi? Ataukah ada penyebab lain? Jika di autopsi, keluarga Milka memprotes tindakan autopsi tanpa koordinasi dengan pihak keluarga, sehingga hasilnya hanya diketahui oleh pihak yang tidak diketahui. Pihak KJRI pernah menjelaskan kematian Milka disebabkan oleh Infeksi paru-paru sehingga tidak perlu dilakukan autopsi.
Aneh kan? Inikah skenario gila yang di sutradarai oleh orang-orang yang superior dengan dukungan supporter kelas dewa untuk mencapai impiannya sebagai sebagai saudagar Human Traficking ataukah ada skenario dibalik standar garis kemiskinan yang dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah. Pihak elite ada dalam skenario ini? Jika ini skenarionya, maka sungguh menyedihkan, negeri ini dipenuhi dengan manusia yang tidak bermoral dan memiliki karakter yang bobrok. Manusia menjadikan dirinya sebagai nuklir untuk menghancurkan bangsanya sendiri. Hal yang paling berbahaya dan mengancam dunia adalah bukan pembuatan nuklir tanpa izin oleh Korea Utara tapi ketamakan yang dimiliki oleh seseorang dalam dirinya. "Terjadinya hal-hal yang tidak wajar,  oleh mereka yang tidak waras"
Sebagai salah satu reaktor Human Traficking, saya mengupayakan melalui tulisan di media ini dengan 1001 harapan kepada semua golongan yang memiliki ide perjuangan yang sama untuk bergandeng tangan, sehati-sepikir, seia-sekata bertindak melakukan suatu reaktualisasi untuk berperang melawan para superior dan para suporter mereka. Bertindaklah seperti Bung Karno yang berani mendirikan gerakan Non Blok untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya.
Kiranya program pemberantasan Human Traficking yang telah dibuat oleh pemerintah yaitu sosialisasi tentang menjadi TKI dan TKW dengan prosedur yang benar tetapi diharapkan membuat terobosan yang baru dengan cara menangani akar permasalahan di bidang pertanian, peternakan dan perdagangan serta menimbang kembali instrument yang digunakan sebagai pengukur standar kemiskinan masyarakat. Dibutuhkan juga, peran dari Lembaga Swadya Masyarakat (LSM), Organisasi, Komunitas dan instansi lainnya atau bahkan individu-individu berintelek untuk menerapkan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki untuk menangani masalah ini. “BE A CANDLE IN THE DARK”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lirik Lagu Kua Tuaf - Sius Otu

Afiks dan Metatesis dalam Tata Bahasa Dawan (Timor)

Alu Mama, Simbol Laki-laki Suku Dawan (Timor)